TENTANGKEPRI.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 agar sistem pemilu beralih jadi proporsional tertutup pada Kamis (15/6). Hakim konstitusi memutus tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.
Terdapat sejumlah pertimbangan mahkamah dalam memutus perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut. Namun, dari delapan hakim yang memutus perkara, ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari satu hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat.
Arief berpendapat sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini diterapkan harus dievaluasi dan diperbaiki. Menurutnya, perlu ada peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas.
Adapun pertimbangan mahkamah memutus sistem pemilu tetap terbuka yaitu sebagai berikut.
Sistem pemilu terbuka tak membahayakan NKRI
Mahkamah menilai argumentasi bahwa sistem proporsional terbuka dapat merusak ideologi pancasila dan membahayakan NKRI tidak beralasan. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan sistem pemilu menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi terbentuknya pemerintahan yang demokratis.
Atas pemikiran tersebut, kata Enny, sistem pemilu harus dirancang sedemikian rupa untuk membangun kehidupan demokrasi yang baik.
“Dalam kaitan ini, sistem pemilihan umum sepanjang dipagari dengan prinsip-prinsip yang dapat membatasi pelaku atau aktor politik tidak merusak ideologi negara, in casu ideologi Pancasila, maka sistem pemilihan umum demikian tidak perlu dikhawatirkan akan membahayakan keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi negara,” kata hakim konstitusi
Enny mengatakan secara normatif terdapat sejumlah undang-undang telah mengantisipasi agar pelaku atau aktor politik tidak mengancam keberadaan sekaligus keberlangsungan ideologi negara.
“Misalnya larangan partai politik untuk menganut asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujar dia.
Sistem pemilu terbuka tak akan mendistorsi peran parpol
Hakim konstitusi Saldi Isra berpendapat alasan pemohon yang menyebut sistem pemilu proporsional terbuka mendistorsi peran partai politik merupakan dalil yang berlebihan. Menurut Saldi, partai politik mempunyai peran sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan demokrasi.
Saldi menambahkan partai politik memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan nomor urut calon anggota legislatif. Lebih lanjut, partai politik juga bisa mengoreksi anggota di DPR atau DPRD lewat mekanisme recall atau Pergantian Antar Waktu (PAW).
“Dengan demikian, peran partai politik sama sekali tidak berkurang apalagi menyebabkan hilangnya daulat partai politik dalam kehidupan demokrasi,” ucap dia.
Sistem pemilu terbuka tetap bisa memunculkan calon yang mewakili parpol
Saldi menegaskan partai politik hingga kini tetap memiliki peran sentral dalam menentukan dan memilih calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana dan program kerja partai politik masing-masing.
Dalam hal terdapat calon anggota DPR/DPRD yang dinilai pragmatis sehingga tidak mampu menerjemahkan ideologi, visi misi dan cita-cita partai politik yang dalam batas penalaran wajar dapat mengancam upaya mencapai kesamaan cita-cita dalam memperjuangkan dan membela partai politik, anggota, masyarakat, bangsa dan negara, seyogianya partai politik tidak mengajukan yang bersangkutan sebagai calon anggota DPR/DPRD.
“Bahkan jika terlanjur diajukan sebagai bakal calon, partai politik dapat meninjau atau mempertimbangkan kembali pencalonannya sebelum ditetapkan dalam daftar calon tetap,” kata Saldi.
Sistem pemilu tertutup tak menjamin hilangnya politik uang
Saldi menyatakan praktik politik uang sama-sama berpotensi terjadi pada sistem pemilu apa pun seperti proporsional terbuka maupun tertutup. Saldi menuturkan yang seharusnya diperhatikan ialah mitigasi terhadap praktik politik uang dalam pemilu.
Ia pun mempunyai tiga catatan perihal langkah konkret mencegah politik uang. Pertama, partai politik dan calon anggota DPR/DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak terjebak dalam politik uang di setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Kedua, penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran pemilu khususnya pelanggaran yang berkenaan dengan politik uang tanpa membeda-bedakan latar belakang baik penyelenggara maupun peserta pemilu.
Ketiga, yaitu masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menoleransi praktik politik uang.
“Dengan demikian, masalah praktik politik uang dan tindak pidana korupsi sebenarnya lebih disebabkan karena sifatnya yang struktural bukan sekadar disebabkan dari pilihan sistem pemilihan umum yang digunakan,” kata Saldi.
Sistem pemilu terbuka tetap bisa jamin keterwakilan perempuan
Saldi berujar kebijakan mengenai 30 persen kuota perempuan di bidang politik merupakan satu kebijakan affirmative action yang sifatnya sementara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan.
Hal ini sebagai wujud tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Keterwakilan perempuan 30 persen menjadi syarat mutlak bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan kadernya dan sekaligus bertujuan menjaga peluang keterpilihan perempuan berperan di lembaga keterwakilan.
Sejauh ini, terang Saldi, ambang batas kuota 30 persen bagi perempuan dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perempuan agar terpilih menjadi anggota DPR/DPRD.
“Dalil pemohon tidak sesuai dengan fakta hasil pemilu dalam beberapa pemilu yang dilaksanakan setelah perubahan UUD 1945. Meskipun belum mencapai kuota minimal 30 persen, setidak-tidaknya sejak pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka, anggota DPR dari perempuan cenderung meningkat,” ujarnya.
Kerumitan sistem pemilu terbuka bisa diperbaiki
Mahkamah, kata Saldi, berpendapat hal-hal yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan pemilu yang masih dapat diperbaiki dan disempurnakan sudah seharusnya tidak mengesampingkan hal-hal yang bersifat substantif dan mendasar dalam pemenuhan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, terutama dalam pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat.
“Menimbang bahwa dalil-dalil pemohon di atas berkaitan dengan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu yang menurut mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan secara lengkap dalam Paragraf 3.31 tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umumnya,” ucapnya.(*)
Sumber:Cnnindonesia.com